Mau Pakai Sudut Pandang Apa?
Di tanah Eropa, 3 hari lagi adalah hari seluruh warga
Indonesia untuk memilih presidennya selama 5 tahun ke depan. Walaupun sebentar
lagi dan walaupun sudah banyak yang bikin tulisan tentang capres, tapi obrolan
dengan seorang teman semalam membuat saya tergerak juga untuk menulis.
Teman saya ini masih swing
voter. Dia enggak tau mau milih siapa, bahkan cenderung memilih untuk golput. Bukan karena dia enggak peduli.
Dia ikutin semua berita tentang capres, ikutin debat mereka, dan lain-lain.
Tapi dia tetep keukeuh kalau di
antara keduanya enggak ada yang layak dipilih. Menurut si teman saya, Jokowi
enggak layak karena belum menyelesaikan jabatannya selama 5 tahun di Jakarta,
dan Prabowo enggak layak karena di belakangnya ada Bakrie, orang yang sangat
enggak dia suka.
Pendek cerita, kami pun berdiskusi cukup panjang tentang
kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak. Sampai akhirnya, dia menutup debat
kami dengan kalimat berikut, “Hahaha. Susah sih kalau udah ngomongin politik.
Semua sudut pandang dijadiin satu.” Diskusi kami pun berhenti di situ. Karena
memang diskusi kami sudah sangat melebar. Sudut pandang yang digunakan sudah ke
mana-mana.
Saya jadi sadar. Dalam memilih presiden kita nanti memang
terlalu banyak sudut pandang yang dipakai, dari mulai yang penting dan relevan
macam visi dan misi mereka, sampai yang enggak penting (dan atau relevan) macam
Jokowi mukanya ndeso atau Prabowo yang enggak punya istri.
Saya jadi teringat seorang sahabat yang ogah memilih Jokowi
karena bahasa Inggris beliau tidak fasih. Atau seorang kenalan yang ogah
memilih Jokowi karena foto Jokowi kurang oke kalau dipasang di dinding ruang
kerjanya. Atau seorang kerabat yang lebih memilih Prabowo karena beliau tampak
gagah dengan pidatonya yang berapi-api. Atau seorang teman yang lebih memilih
Prabowo karena dia merasa Indonesia butuh pemimpin yang bisa membuat asing
takut.
Memang banyak sudut pandang sebagai dasar seseorang akhirnya
memilih presiden mereka nanti. Yang menarik, kedua capres kita dilihat hampir dari
semua sudut pandang, adalah sosok yang sangat berbeda. Tidak seperti pilpres-pilpres
sebelumnya yang semua calon mirip-mirip. Kedua capres kita saat ini masing-masing
punya kelebihan dan kekurangan. Tergantung kelebihan mana yang mau dijadikan
dasar untuk memilih, dan kekurangan mana yang dijadikan sebagai dasar untuk
tidak memilih.
Setelah riset dan diskusi panjang, saya memutuskan memilih
Jokowi.
Saya tahu Jokowi banyak kekurangan. Tapi saya menutup mata.
Saya menutup mata dari kemampuan bahasa Inggris Jokowi yang
tidak fasih dengan track record beliau
DI BIDANG PEMERINTAHAN yang luar biasa di Solo dan Jakarta. Saya menutup mata
dari jabatan Jokowi yang belum selesai di Jakarta dengan harapan supaya apa
yang sudah dia lakukan di Jakarta akan dilakukan juga di seluruh Indonesia.
Saya menutup mata dari pidato Jokowi yang tidak dirangkai dengan kata-kata
indah dengan setiap tindakan nyatanya yang menunjukkan kalau dia tidak perlu banyak
bicara. Saya menutup mata dari gosip Jokowi adalah presiden boneka dengan
melihat bahwa setiap program yang dia lontarkan bahkan belum pernah terdengar sedikit
pun dari Megawati dulu. Saya menutup mata dari gosip kalau Jokowi adalah antek
asing (Amerika) dengan pernyataan tegas dia tentang mendukung kemerdekaan
Palestina di debat kemarin.
Sayangnya memang semua kelebihan yang ditawarkan dari pihak
Prabowo sama sekali tidak menarik di mata saya. Saya tidak tertarik dengan
pidatonya yang menggebu-gebu, saya tidak tertarik dengan prestasi-prestasinya
yang kebanyakan berkaitan dengan bidang olahraga, saya tidak tertarik dengan
tampilannya yang gagah perkasa, saya tidak tertarik dengan orang-orang di
belakangnya yang bermasalah, saya tidak tertarik dengan partai-partai politik
yang jumlahnya berjibun ada sebagai pendukungnya.
Jadi, kalau teman atau kenalan atau saudara kita sudah keukeuh mau pilih sosok yang berbeda dengan
yang kita pilih, rasanya memang hampir sia-sia menyodorkan argumen lagi. Dia
sudah yakin dengan sudut pandang yang dia gunakan untuk memilih presidennya.
Dan kemungkinan, sudut pandang yang dia gunakan berbeda dengan yang kita
gunakan.
But anyway, I’m not a
fanatic fan of Jokowi. Saya tau Jokowi adalah manusia biasa yang bisa
salah. Saya memang berharap supaya Jokowi bisa terpilih, tapi kalau pun tidak, saya tau itu
adalah suara lebih dari setengah penduduk Indonesia dan itu adalah pilihan dari
rakyat Indonesia sendiri. Suara rakyat suara Tuhan, toh?
Saya tetap adalah bagian dari rakyat Indonesia siapa pun
yang menang nanti. Saya puas dan bangga: saya sudah jadi warga negara yang
menggunakan hak pilihnya dengan baik, dengan matang dan bukan asal-asalan. Saya
puas dan bangga: saya masih punya harapan untuk Indonesia.
Komentar
Posting Komentar